Ekspor ‘Si
Bungkuk’ Mendongkrak PAD
Kisah keberhasilan
petani udang sudah lama terdengar, paling segar ketika terjadi krisis
moneter tahun 1998. Saat itu Sulsel
merajai ekspor udang windu. Bahkan udang windu memberi kontribusi pendapatan
asli daerah (PAD) Sulsel sebesar Rp miiliar lebih. Di lain pihak para petambak
bernapas longgar di tengah kesesakan ekonomi, karena mereka mampu membeli
kendaraan dan melengkapi kebutuhan lainnya dan pendapatan yang besar.
Dan posisi yang
sangat strategis ini Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo ingin meningkatkan “Si
bungkuk” lni sebagai komoditi ekspor andalan. “Gerakan kebangkitan udang” mulai
dikumandangkan usai Syahrul - Agus dilantik sebagai gubernur dan wakil gubernur
periode 2008 — 2013. Gerakan ini bertujuan meningkatkan ekspor udang menjadi
10.000 ton lebih dan tahun-tahun sebelumnya yang hanya sekitar 6.000 ton.
“Ekspor udang windu kita tahun lalu hanya 6.670 ton, padahal sebelumnya
rata-rata di atas 10.000 ton Nah, target kita, ekspor bisa kembali ke angka
10.000-an ton selama periode jabatan Pak Gubernur dan saya,” ujar Wagub Sulsel
Agus Arifin Nu’mang kepada wartawan pertengahan Juli 2008.
Gagasan yang
dicetuskan gubernur mendapat apresias pemerintah pusat. Menteri Kelautan dan
Perikanan Freddy Numberi pertengahan Juli 2008 mencanangkan kebangkitan produksi
udang windu di Kabupaten Pangkep. Dalam seremoni yang berlangsung di tengah areal
tambak itu, menteri menyerahkan bantuan pemerintah dan komitmen fasilitas pembiayaan
perbankan untuk kelompok pembudidaya. Gerakan ini selanjuthya mampu membentuk
230 kelompok pembudidaya dengan anggota 2.300 dan mengolah areal pertambakan
seluas 8.886 ha. Pemerintah juga memberi subsidi kepada kelompok berupa benih
udang windu 8 juta ekor, udang vanamae 1,5 juta ekor dengan nilai mendekati Rp
100 juta. Pemprov menetapkan 19 kabupaten dan kota menjadi sentra produksi udang
lokal antara lain Pinrang 15.000 ha, Wajo 13.000 ha, Barru 2.60 ha, Pangkep 10.000
ha, Maros 9.000 ha, sisanya terdapat di Luwu, Takalar, dan daerah lairinya.
Total areal tambak udang di Sulsel hingga tahun 2008 mencapai 99.453 ha (Bisnis Indonesia, “Singapura BidikInvestasi Tambak Udang US$50 Juta”, edisi 10 September 2008).
Kepala Dinas
Kelautan dan Perikanan (DKP) Sulsel Ir Iskandar mengungkapkan, untuk mendukung
gerakan kebangkitan udang, Kementerian Kelautan dan Perikanan mengalokasikan
dana sebesar Rp 6,8 miliar untuk memacu produktivitas udang Sulsel sepanjang
tahun 2009. Dana itu belum termasuk dana dekonsentrasi program kelautan dan perikanan
yang dialokasikan pemerintah pusat sebesar Rp 67 miliar kepada 23 kabupaten/kota
se SuElsel.
Kemampuan Sulsel
sebagai penghasil udang ikut menarik minat para pengusaha termasuk dari negara
tetangga. Tidak kurang perusahaan asal Singapura Lim Shrim Organization (LSO)
bermaksud menginvestasikan modalnya sekitar US$50 juta untuk bisnis tambak
udang di Sulawesi Selatan. Investasi itu untuk infrastruktur di tingkat petani
hingga industri cold storage.
Executive
Director LSO Djames Lim mengemukakan hal itu ketika bertemu Gubernur Sulsel Syáhrul
Yasin Limpo di Makassar, September 2008. Menurut Djames, pihaknya ingin membantu
petani tambak dalam hal pengadaan benur, pupuk, hingga manajemen tambak. Djames
menilai potensi tambak udang Sulsel sangat bagus. “Sebelumnya kami berinvestasi
di Lampung, tapi potensi di Sulsel jauh lebih besar dibanding Lampung,”
ujarnya.
Menanggapi
keinginan investor, Syahrul menyambut baik. Menurutnya, saat ini Sulsel cukup
kondusif sehingga minat para investor masuk ke daerah ini sangat besar. “Kami beri
kesempatan mereka masuk, tapi harus mengedepankan kepentingan rakyat. Jangan
sampai mereka mau cari untung sendiri tapi rakyat menderita,” kata Syahrul.
Hanya saja, hingga pertengahan 2009 ini, belum ada data terakhir tentang keinginan
pengusaha Singapura itu.
Udang memang
menggiurkan, bahkan nilai ekspor ‘Si bungkuk’ ini terus meningkat dari tahun ke
tahun, di mana pada tahun 2008 mencapai US$ 58,7 juta dan total 7.087 ton.
Jumlah ini naik dari tahun 2007 yakni US$ 56.440 dengan volume ekspor 6.392,2
ton (Antara, 12 Januari 2009). Meski kenaikan tidak terlalu besar, namun
peningkatan ini menunjukkan kualitas udang Sulsel tetap terjaga di mata para pembeli
dan produksi para petani semakin meningkat. Harga udang di pasar ekspor saat ini
mencapai US$ 9 hingga US$ 10 per kg.
Meski hasilnya
menggiurkan dan mendapat prioritas untuk dikembangi bukan berarti budi daya
udang tidak mendapat tantangan. Justru komoditi ini sering terpuruk bila diserang
hama penyakit seperti diakui Wakil Bupati Pangkep Andi Kemal Burhanuddin,
ketika mengikuti pencanangan kebangkitan udang. Selain hama, katanya, para petani
juga sering kesulitan modal. Untuk itu ia meminta pemerintah provinsi dan
departemen terkait memberikan bantuan berupa penyuluhan penyediaan sarana
prasarana subsidi, serta pen getahuan sistem budidaya untuk mengatasi serangan
virus.
Ketua Asosiasi
Pengusaha Cold Storage Indonesia (APCI) Sulsel Adriyadi pernah mengatakan
sejauh ini belum ditemukan obat yang cukup ampuh untuk memusnahkan virus MBV
maupun white spot. Kedua virus itu, menurutnya, membuat banyak anakan udang
hanya sanggup bertahan bidup sampai dua bulan, akibatnya produksi melorot
drastis.
Sementata
terkait mutu udang, Sulsel punya pengalaman pahit tahun 2007 ketika Jepang
menolak udang ekspor sebanyak 15 ton (Antara1 Jepang Tolak Udang Sulsel, 3 Mei 2007).
Alasan penolakan karena udang Sulsel terdeteksi mengandung anti biofik melebihi
ambang toleransi yakni mencapai 5 % seperti ditetapkan badan otoritaS Uni
Eropa.
Dan pengalaman ini
Adriyadi meniinta pemenintah dan Pihak pihak berkepentingan melakukan
rehabilitasi sarana dan prasarana Laboratorium Pembinaan dan Pengawasan Mutu
Hasil Perikanan (LPPMHP) Makassar. Hal ini guna mendeteksi kandungan antibiotic
yang terdapat pada udang Sulsel sebelum diekspor terutama ke negara Uni Eropa
dan Jepang. Menurut dia, kandungan antibiotik yang terdapat pada udang Sulsel
diduga berasal dan benur yang telah terkontaminasi dengan obat-obatan atau zat
kimia yang digunakan petambak udang demi melindungi udang dan serangan penyakit.
Sulsel memang harus berupaya keras agar udang yang diekspor tidak terkontaminasi
oleh antibiotik yang dapat saja membuat negara tujuan ekspor menolak. Untuk
itulah, Gubernur Syahrul Yasin Limpo, bertekad akan mengontrol pelaksanaan
Gerakan Kebangkitan Udang yang diyakini dapat meningkatkan devisa serta
meningkatkan pendapatan masyarakat. *
Export 'Hunchback' (Tiger Shrimp) Boosting PAD
The story of the success of the shrimp farmers have long heard , most fresh when the monetary crisis in 1998. At that time ruled the South Sulawesi black tiger shrimp exports . Even the tiger shrimp contributed revenue ( PAD ) South Sulawesi Rp miiliar more . On the other hand the farmers loose breathe amid economic distress , because they can afford to buy a vehicle and completes other requirements and substantial income .
And the strategic position of South Sulawesi Governor Syahrul Yasin Limpo want to improve " The Slouch " This is the main export commodity . " Shrimp revival movement " began to broadcast over Syahrul - Agus sworn in as governor and deputy governor of the period 2008-2013 . This movement aims to increase shrimp exports to 10,000 tonnes over the previous years and that only about 6,000 tons . " Our tiger shrimp exports last year only 6,670 tons , whereas previously the average above 10,000 tonnes Well , our target can export back to the figure 's 10,000 tons during the period of office of the governor and I , " said Vice Governor of South Sulawesi Agus Arifin Nu ' indeed to reporters mid- July 2008 .
The notion that the governor gets triggered apresias central government . Maritime Affairs and Fisheries Minister Freddy Numberi mid- July 2008 declared the rise of tiger prawn production in Pangkep . In a ceremony that took place in the middle of the pond area , the minister handed over the government and committed bank credit facilities for farmers groups . This movement selanjuthya able to form groups of 230 farmers with 2,300 member farms and processing area covering 8,886 ha . The government also subsidizes a group of 8 million seed tiger shrimp tails , shrimp vanamae 1.5 million birds with a value approaching U.S. $ 100 million . Administration set 19 counties and cities become centers of local shrimp production , among others Pinrang 15,000 ha , 13,000 ha Wajo , Barru 2.60 ha , 10,000 ha Pangkep , Maros 9,000 ha , the rest are in Luwu , Takalar , and lairinya area . The total area of shrimp farms in the province until 2008 reached 99 453 ha ( Bisnis Indonesia , " Shutter Singapore Investment Shrimp U.S. $ 50 Million " , edition of 10 September 2008 ) .
Head of Maritime Affairs and Fisheries ( DKP ) Ir Iskandar revealed Sulawesi , to support the revival movement of shrimp , Ministry of Maritime Affairs and Fisheries has allocated Rp 6.8 billion to boost the productivity of shrimp from South Sulawesi in 2009 . The fund does not include deconcentration fund marine and fisheries program of the central government allocated Rp 67 billion to 23 districts / cities in SuElsel .
South Sulawesi shrimp -producing ability as entrepreneurs participating interest , including from neighboring countries . Not less Lim from Singapore Shrim Organization ( LSO ) intends to invest capital of approximately U.S. $ 50 million for shrimp farming business in South Sulawesi . The investment in infrastructure at the farm level to the cold storage industry .
Djames LSO Executive Director Lim was speaking when he met the Governor of South Sulawesi Syahrul Yasin Limpo in Makassar , September 2008 . According Djames , it wants to help fish farmers in the procurement of fry , fertilizer , until the farm management . Djames assess the potential for a very good shrimp farms in South Sulawesi . "Before we invest in Lampung , South Sulawesi but the potential is much greater than Float, " he said .
In response to the desire of investors , Syahrul welcomed . According to him , the current South Sulawesi conducive to the interest of investors into this area is huge . " We give them a chance in, but must prioritize the interests of the people . Do not let them want to find their own profit but the people suffer , " said Syahrul . However, until the mid-2009 's , there has been no recent data on the Singapore businessman desires .
Shrimp is lucrative , even exports 'The hunchback ' continues to increase from year to year , which in 2008 reached U.S. $ 58.7 million and a total of 7,087 tons . This number is up from 2007 , at U.S. $ 56,440 with the export volume of 6392.2 tonnes ( Reuters , January 12, 2009 ) . Although the increase is not too big , but it shows the quality improvement Sulawesi shrimp maintained in the eyes of the buyers and the farmers increased production . Shrimp prices in the export market has reached U.S. $ 9 to U.S. $ 10 per kg .
Although the results are tantalizing and got priority for dikembangi not mean that shrimp farming is not being challenged . It is precisely this commodity is often worse when attacked by pests such as diseases recognized Pangkep Vice Regent Andi Burhanuddin Kemal , when following the declaration of the resurrection of shrimp . In addition to pests , he said , the farmers also often difficult capital . For that he asked the provincial government and relevant departments to provide assistance in the form of counseling provision of infrastructure subsidies , and getahuan pen culture systems to cope with virus attacks .
Chairman of the Indonesian Employers Association of Cold Storage ( APCI ) Sulsel Adriyadi 've said so far has not found a drug powerful enough to destroy the virus and white spot MBV . Both the virus , he said, made a lot of chicks shrimp could only last up to two months bidup , consequently production dropped drastically .
Sementata related quality of shrimp , Sulawesi had a bitter experience in 2007 when Japan refused shrimp export as much as 15 tons ( Antara1 Japan Rejects Shrimp Sulawesi , May 3, 2007 ) . Reasons for rejection Sulawesi shrimp contained detectable anti biofik exceed the tolerance threshold of 5% as stipulated EU official authority .
And this experience Adriyadi meniinta Parties interested parties pemenintah and rehabilitation facilities and infrastructure Development and Quality Control Laboratory of Fishery Products ( LPPMHP ) Makassar . This is to detect the content of antibiotics found in South Sulawesi shrimp before they are exported mainly to the European Union countries and Japan . According to him , the content contained antibiotics thought to have originated in South Sulawesi shrimp and fries that have been contaminated with drugs or chemicals that are used to protect the shrimp farmers and shrimp disease . Sulawesi is need to get the shrimp are exported are not contaminated by antibiotics which can only make export destination countries refused . For this reason, Governor Syahrul Yasin Limpo , determined to control the implementation of the Awakening Movement shrimp are believed to increase foreign exchange and increasing incomes.

Judul: Ekspor ‘Si Bungkuk’ (Udang Windu) Mendongkrak PAD. / Export 'Hunchback' (Tiger Shrimp) Boosting PAD
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Ditulis Oleh 08.59
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Ditulis Oleh 08.59
Artikel Terkait Sejarah dan BUdaya :
- Sejarah Makassar Yang Sedikit Terlupakan
- Ekspor ‘Si Bungkuk’ (Udang Windu) Mendongkrak PAD. / Export 'Hunchback' (Tiger Shrimp) Boosting PAD
- Panorama Alam Bantimurung diindonesia./ Panorama Nature Bantimurung in Indonesia
- Sejarah Bagai Mana Belanda Mengatasi Banjir, / Where Dutch History How to Overcome Flood
- History Makassar The Forgotten Few
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus